SENYUMANMU
KEBAHAGIAANKU
M
|
alam ini adalah peringatan satu tahun
meninggalnya Lala, sahabat karib adikku, Alena. Meskipun satu tahun sudah
kepergian Lala dari dunia ini, Alena tetap saja menyalahkan dirinya sendiri.
Bagaimana tidak? Di saat Lala terbaring di rumah sakit, menunggu detik-detik
terakhirnya, Alena pergi bersama teman-temannya berlibur ke sebuah pulau yang
sampai saat ini banyak dikagumi para wisatawan. Alena mengira, Lala hanya
terserang flu biasa atau demam semacamnya sehingga memungkinkan untuk tidak
ikut berlibur, tapi pada kenyataannya Lala sakit parah, parah sekali hingga di
saat-saat ia terbaring di rumah sakit peralatan medis menjadi penyokong
hidupnya. Tapi apa yang hendak dikata, Tuhan telah mengatur semua yang terjadi
di dunia ini entah itu kelahiran ataupun kematian seseorang. Hari itu juga Lala
dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Mendengar
kabar tersebut, Alena diam, badannya serasa lemah tak berdaya, bahkan untuk berdiripun harus membutuhkan
bantuan orang disekitarnya. Dengan air mata yang terus keluar dari matanya ia
menatap tubuh kaku tak bernafas. Tak ada yang dapat ku ucapkan untuk menghibur
adikku waktu itu. Aku seakan ikut membisu melihat keadaan hati Alena. Sedih
rasanya ditinggal orang yang sudah menemani dan selalu ada di sampingnya selama
15 tahun. Apalagi Lala tak pernah menceritakan apa yang sebenarnya menjadi
penderitaannya, Lala tak pernah menampakkan tanda-tanda bahwa dirinya sakit
parah, setiap berada di samping Alena ia banyak tersenyum bahagia. Aku juga tak
menyangka orang sebaik dia lebih dulu dipanggil oleh Tuhan.
Saat
Lala berada di rumah sakit, Alena tak sempat menanyakan penyakit yang diderita
Lala, apa yang dirasakan Lala ketika tumor yang bersarang di otaknya tiba-tiba
menyerangnya dengan dahsyat, bahkan untuk memberi semangat kepada Lala tak
sempat dilakukan Alena. Aku tahu bagaimana perasaan Alena. Mungkin jika waktu
benar-benar bisa diputar, ia akan meminta Tuhan untuk menyembuhkan penyakit
Lala karena seorang Alena tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada, ia akan
selalu berada di samping Lala, menemani Lala dengan kata-kata yang akan ia
ucapkan,”Teman, aku disini untukmu dan bersamamu.Berjuanglah...Berjuanglah
!”...
Suara
tahlil, doa untuk Lala dikumandangkan oleh tetangga, sahabat, kerabat dan keluarga
terdekat. Sekali waktu aku melirik ke arah Alena yang dengan khusuk membaca
setiap ayat-ayat yang terangkai menjadi doa dengan harapan apa yang ia baca
tersampaikan kepada Tuhan untuk sahabat terkasih, Lala.
Setelah
selesai membaca doa untuk Lala supaya diterima di sisi Tuhan, akupun mengajak
Alena pulang. Seperti biasa ia hanya diam tanpa menatapku sedikitpun dan tanpa
mengeluarkan kata-kata dari mulutnya, ia mengikutiku dari belakang. Dalam
perjalanan aku tetap melihatnya terdiam, kuakui aku bosan melihat pemandangan
yang monoton dari wajah dengan raut muka yang tampak pucat.
Sesampai
di rumah, Alena masuk ke kamar begitu saja tanpa menyapa ayah dan ibu yang
sedang duduk-duduk di ruang tengah, menunggu kami pulang dari rumah Lala.. Aku
hanya tersenyum kepada orang tuaku dan kemudian menyusul Alena masuk ke dalam
kamar.
Kubuka
jilbab dan kurapikan rambutku yang berantakan dengan sisir kesayanganku
berwarna biru. Dari cermin didepanku, kulihat bayangan adikku yang sedang
menatap foto dirinya bersama Lala di saat sedang liburan bersama. melihatnya
hatiku tak tenang, sesakit itukah kehilangan orang yang disayangi, Alena kapan
kau akan mengerti kalau ada kakak disampingmu, ada kakak yang menemanimu, ada
kakak yang selalu perhatian kepadamu. Apa kau tak pernah melihat dan merasakan
betapa sayang dan pedulinya aku kepadamu. Akupun memantabkan hatiku lama sekali
hanya untuk mengungkapkan hal itu kepada Alena.
”
Alena, apakah kau tak pernah menganggap aku ini ada?”teriakku, kemudian
berdiri. Namun, sepertinya hati Alena terbuat dari batu yang sangat keras dan
diselimuti oleh lapisan es yang sangat tebal sehingga begitu dingin dan kaku,
dingin sekali. Sedikitpun ia tak menoleh kepadaku.
”Alena!”aku
berteriak lagi dan agak sedikit membentak, kemudian aku mendekati Alena yang
tetap diam tanpa bergerak sedikitpun, hanya kudengar hembusan nafas setiap
detiknya. Aku duduk disampingnya dan membelai rambut hitam panjangnya yang
terurai.
”
Alena, dengarkan aku. Sebagai kakakmu, aku sangat sedih melihat keadaanmu, mana
Alena yang riang, mana Alena yang pemberani, mana Alena yang selalu tersenyum
ketika sedang bersamaku, perlu kau tahu, aku kehilangan Alena yang dulu, Alena
yang tak selemah ini, Alena yang tak pernah membuat dirinya tersiksa!” kataku
kemudian.
”Please, berhentilah kamu menyalahkan
diri sendiri, tataplah masa depanmu yang masih panjang. Banyak mimpi yang harus
kamu raih,” kata-kataku melembut untuk menjaga perasaannya. Namun tetap saja,
raut muka tanpa ekspresi ia tunjukkan kepadaku.
”Sekarang
tidurlah, sudah malam,”kataku kemudian sambil membimbingnya agar ia tidur. Ku
tutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Aku menuju ke tempat tidurku, kulirik
adikku sebelum aku memejamkan mata. Kupastikan ia sudah terlelap dalam
mimpi-mimpi yang indah.
Beberapa
lama setelah kupejamkan mataku, samar-samar aku mendengar Alena berkata
sesuatu.
”
Kak Alisya, selamat malam, mimpi yang indah ya,”kata Alena meskipun dengan
suara yang amat pelan. Akupun segera membuka mataku. Itulah kata-kata yang aku
rindukan setiap malam. Ku hapus air mataku dan aku tidur dengan perasaan haru
yang menjadi selimut hatiku malam ini.
Keesokan
harinya, aku tak mendapati adikku di tempat tidurnya sewaktu aku membuka mata,
di meja makanpun aku tak bertemu dengannya. Tapi mendengar apa yang dikatakan
ayah dan ibuku, aku sedikit lega.
”
Hari ini Alena membuat ibu ingin menangis terharu, senyum yang selama ini
menghilang kini telah kembali lagi, Alisya,” kata ibuku yang terlihat bahagia
melihat perubahan Alena. Ayah hanya tersenyum, mengangguk setuju
menguatkan pernyataan ibu.
”
Mungkin dia menyadari bahwa apa yang ia lakukan selama ini benar-benar membuat
keluarganya khawatir,” kataku kemudian, ayah dan ibuku hanya tersenyum
mendengar kata-kata yang aku ucapkan.
Dengan
kejadian di pagi ini membuat aku semangat berangkat ke rumah sakit untuk
memenuhi tugas dan kewajibanku sebagai seoarang perawat. Dengan seulas senyum
di bibirku tak segan ku sapa orang-orang yang ada dihadapanku.. Semua orang
seakan tahu betapa bahagianya aku sehingga senyum dan balasan sapa dari mereka
membuatku menjadi lebih menghargai keberadaan orang-orang terkasih
disekitarku. Hari ini sungguh terasa
indah. Sunguh tak pantas jika aku tak bersyukur kepada Sang Maha Pencipta.
Siang
ini ketika aku berjalan di koridor rumah sakit, tempat aku bekerja ibu
menelponku dan mengatakan sesuatu yang membuat hatiku kembali gelisah. Alena
tak ada di sekolahnya. Aku mencoba menenangkan hati ibu yang semakin lama
semakin kacau. Tangisan ibuku terus saja terdengar dari telpon genggamku.
”
Ibu tenanglah, setelah ini kita cari Alena, mungkin dia sedang pergi ke rumah
teman-temannya,” kataku mencoba memberi pengertian kepada ibuku agar kepanikan
ibuku berkurang.
”
Alisya!” panggil seorang dokter disampingku. Aku mengerti maksud dokter itu,
aku segera menutup telponku. Kugantikan dokter mendorong kursi roda seorang
kakek yang kakinya lumpuh. Ku ajak kakek itu berkeliling. Akan tetapi, tepat di
persimpangan jalan menuju kamar sang kakek, hampir aku melepaskan tanganku yang
sedang memegang kursi roda.
Aku
melihat darah seorang pasien yang terus menetes saat lewat didepanku. Dan tepat
di depanku, sebuah gelang dengan bentuk dan warna yang sangat aku kenal jatuh
dari tangan sang pasien. Akupun memungut gelang yang jatuh itu dan mencermati
gelang yang saat ini ada pada tanganku.
Melihat
inisial huruf ”L” pada gelang tersebut, aku berlari mengikuti pasien tadi.
Kutinggalkan kakek tua sendirian. Saat ini pikiranku kacau, hatiku sungguh tak
karuan.
Di
depan Emergency Room, aku berdiri,
gelisah menanti. Seorang suster
memberi tahuku bahwa anak yang berada di dalam kamar saat ini mengalami
kecelakaan amat parah. Dan anak ini masih mengenakan seragam sekolah. Tuhan,
semoga dugaanku meleset.
Tak
berapa lama pintu terbuka. Kulihat wajah dokter yang pasrah, akupun tak
menanyakan apapun kepada dokter itu. Aku langsung masuk ke dalam dan melihat
seorang suster menutup tubuh pasien yang terbujur kaku dengan kain putih.
Perlahan aku mendekati pasien tersebut, kekuatan magnet apa yang membuat aku
ingin membuka kain penutup ini. Tanganku bergetar, dengan perlahan tanganku
mulai membuka kain dan sosok gadis yang kukenal kini tak bernyawa berada di
depan mataku. Alena... benarkah kata-kata yang tadi malam kau ucapkan adalah
pesan terakhirmu untukku, Tuhan aku belum sanggup menerima ini.
Pemakaman
Alena sudah selesai satu jam yang lalu.. Kulihat ibu menangis dan ayah diam
dengan guratan kesedihan pada wajahnya. Aku menatap langit-langit ruang tamu
rumahku dengan air mata yang terus menetes dari pelupuk mataku. Aku menatap
gelang yang berada pada genggamanku, ”L”. Lala inikah jalan Tuhan, sebegitu
besarkah rasa kebersamaan antara kalian? hingga engkau memilih Alena untuk di
sampingmu selamanya.
Kutatap
foto diriku dengan Alena yang sedang tersenyum riang, sekarang aku merasakan
kesedihan yang dialami Alena sewaktu ditinggal Lala dulu. Ternyata memang
benar, sangat, sangat menyakitkan.
Untukmu
Alena, selamat jalan meskipun kau tak ada bersamaku tapi aku yakin kau selalu
ada dihatiku dan aku yakin Tuhan memanggilmu Karena Tuhan sayang kepadamu.
****
TAK SEPERTI YANG KU KIRA
Di dalam angkutan kota, aku duduk sendiri di kursi belakang. Aku merasa lega karena kendaraan yang aku tumpangi siang ini tidak begitu ramai. Aku bergeser mendekati kaca jendela ketika ada seorang ibu naik sambil menggendong anak, bermaksud memberikan kelonggaran tempat duduk. Tetapi, ibu itu tersenyum dan mengambil tempat duduk di depanku yang masih kosong.
“ Awas, Polisi!” teriak seorang pelajar dari arah selatan yang kemudian mengambil langkah seribu sebelum Polisi berhasil menangkapnya.
Aku hanya menggigit bibir melihat pemandangan yang sudah menjadi tontonan sehari-hari. Kali ini tidak ada darah yang mengalir, tidak ada pelajar yang berteriak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman polisi. Mungkin hari ini adalah hari keberuntungan bagi pelajar yang tawuran dan hari sial bagi petugas karena tak ada satupun yang bertahan di tempat, artinya semua pelajar berhasil melarikan diri.
Sesaat kemudian aku melihat sosok yang kukenal berlari menuju kendaraan yang aku tumpangi. Ketika orang tersebut naik diikuti salah satu temannya yang terlihat ketakutan, lalu mereka duduk disampingku, mulutku terkunci rapat. Melihat ketua OSIS sekolahku berpenampilan yang sungguh tak pantas di contoh, rambut acak-acakan, seragam terlihat lusuh dan kotor dengan semua kancing terbuka sehingga T-shirtnya terlihat, kemudian tidak mengenakan sabuk, dan yang membuat aku shock dia membawa senjata tajam yang disembunyikan dibalik ranselnya. Sungguh tidak bermoral. Aku mencoba bersembunyi dengan cara menutupi sebagian wajahku dengan rambutku yang terurai kemudian mengusahakan agar identitas nama sekolah di lenganku tidak terlihat. Aku berdoa sepanjang jalan semoga ia tak mengenalku.
Keesokan harinya di sekolah secara tak sengaja aku berpas-pasan dengan ketua OSIS, penampilannya berbeda dengan yang kemarin, seratus delapan puluh derajat sangat berbeda. Akupun tak mempercayai hal ini. Terlintas dibenakku, bahwa anak ini pintar menyembunyikan sifat buruknya. Aku menundukkan kepala berharap ia tak mengenaliku, tapi. . .
“Hai, maaf kamu yang kemarin naik bus kan?” darahku berdesir seketika ia menanyakan hal itu kepadaku. Haruskah aku menjawab ya atau aku lari menghindar.
“Aku yakin kamu beranggapan bahwa aku anak berandal atau apa, tapi yang jelas aku tidak seperti yang kamu bayangkan,” katanya dengan suara agak berbisik, sebelum aku menjawab pertanyaan yang ia ajukan.
Aku menghela nafas. Tak lama kemudian ia tersenyum dan pergi meninggalkan aku. Tuhan, mimpi apa aku semalam? Haruskah aku percaya dengan semua ini atas apa yang dilakukan oleh Ketua OSIS yang seharusnya menjadi panutan justru mencoreng nama baik sekolah.
Siang harinya, kejadian kemarin aku alami kembali. Aku tak sanggup melihat kearah ketua OSIS yang benar-benar membuat aku miris. Apa yang sebenarnya dia cari? Apakah ia tak menginginkan lagi jabatan ketua OSIS. Aku akui ia memang murid yang cerdas, sopan dan ramah di sekolah, tapi melihat dia seperti ini manghapus semua kekagumanku.
Satu minggu kemudian, aku dikagetkan denagn kehadiran seseorang yang aku kenal. Ia berdiri didepan gerbang rumahku dengan kondisi seragam acak-acakan. Aku ingin kabur, tapi sekuat tenaga aku menahannya dan menghampiri orang itu.
“Apa yang terjadi?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Tidak terjadi apa-apa,” jawabnya dengan tenang. Aku sedikit kesal dengan jawabannya. Sebenarnya apa yang ia lakukan disini mengganggu waktuku saja.
“ Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak ikut dalam tawuran, semoga kamu tidak melapor kepada kepala sekolah atau guru dengan hal yang belum kamu ketahui kebenarannya” katanya kemudian.
“Maksud kamu? Sudah jelas kan, setiap hari aku sering melihat kamu dan temanmu berlari-lari di area tawuran anak-anak sekolah yang tak bermoral itu..” Kataku kemudian. “ Lantas aku tak akan mengira bahwa kamu tidak terlibat dalam tawuran itu? Sudah terbukti, kamu dikejar-kejar polisi, membawa senjata tajam di ranselmu, apa kamu tidak menyadari hal itu? Lalu sekarang kamu datang kemari pasti memohon kepadaku untuk tidak mengadukan sikapmu ke kepala sekolah supaya kamu tetap menduduki jabatan Ketua OSIS, seperti itukah sikap ketua OSIS yang selama ini dikagumi siswa dan guru Harapan Bangsa?”Kataku dengan tekanan setiap kata sehingga membuat ia tak berkutik.
Sebelum sempat ia menjawab aku pergi masuk kedalam rumah membiarkan dia merenungi setiap perkataanku. Hingga kulihat dari jendela, ia pergi berlalu meninggalkan pekarangan rumahku.
Keeseokan harinya, sepulang sekolah aku dilanda ketakutan luar biasa. Mungkin hari ini adalah hari puncak ketegangan tawuran antar pelajar. Aku bersembunyi di balik tembok tinggi untuk menghindari tawuran agar tidak terlibat. Ketika suasana sedikit tenang aku mendengar teriakan seseorang dari seberang jalan. Ketika ku melihat orang itu, aku berlari ke arahnya. Kulihat ketua OSIS sekolahku mendekap tubuh seorang siswa sekolah lain yang tadi ikut tawuran. Kulihat wajah lebam, darah mengalir dari kepalanya.
. . . .
“Hampir 15 tahun aku bersahabat dengan dia, waktu kecil ia pernah menyelamatkan nyawaku dari anak-anak berandal hanya dengan kepolosan wajahnya, dan saat aku tahu sekolahnya diserang sekolah lain yang tidak mempunyai perikemanusiaan, aku tak tinggal diam. Setiap pulang sekolah aku selalu bersama dia, aku ingin melindungi dia dari serangan orang-orang tak bertanggungjawab, aku takut kehilangan dia, karena dia sahabat terbaikku, untuk itu aku mohon jangan mengadukan hal ini kepada kepala sekolah,” itulah permintaan ketua OSIS kepadaku ketika menunggu temannya di rumah sakit. Sekarang aku tahu mengapa dia bersikap seperti itu, aku beruntung mengetahui hal ini sebelum aku melaporkan ke kepala sekolah.
Dengan kejadian ini aku menyadari bahwa apa yang dilakukan ketua OSIS Harapan Bangsa memang patut untuk dikagumi. Dan kesalahan terbesarku sudah bersikap dan berpikir negatif tentangnya sebelum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
***
*Dimuat pada surat kabar Radar Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar